Mengenal Muridku

 

Saat mengikuti sebuah perkuliahan, udara terasa dingin saya mengenakan sweater bertuliskan Calvin klein. Dalam perkuliahan pertama kali, sang dosen memperkenalkan diri. Selama perkuliahan berlangsung, beliau memanggil mahasiswanya tidak dengan sebutan nama padahal daftar nama mahasiswa ada di mejanya. Beliau memanggil dengan sebut barang yang digunakan. “kacamata” , “kaos merah”, “syal biru “, “kamu, kotak-kotak” . Tiba-tiba beliau mengajukan sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada saya. ”Calvin Klein” panggilnya sambil menatap saya.

Berminggu-minggu sampai diakhir semester, beliau tetap memanggil kami seperti itu. Beliau tidak merasa perlu untuk mengenal kami sebagai mahasiswanya walaupun hanya sekedar tahu nama. Tentu kita tidak berharap bisa dikenal lebih jauh oleh sang dosen. Tapi itu pengalaman yang mengena dihati saya. Perlukah seorang guru mengenal muridnya? 

Dalam bukunya Menjadi Guru Untuk Muridku, ST. Kartono mengisahkan pengalamannya yang menyentuh. Pesan singkat muncul di layar telepon genggam,”Mas, Kartono, apa kabar ?” dikirim oleh dosennya Profesor Endang Nurhayati. Kartono mengungkapkan perasaannya terhadap pesan tersebut, hanya beliau sendiri yang dapat merasakan betapa dahsyatnya pengaruh pertanyaan tersebut,artinya dosen itu bukan saja menunggu hasil pekerjaan mahasiswanya tapi peduli kepada pribadi mahasiswanya dengan mengingatkan untuk menyelesaikan tugas akhir pascasarjana.

Memang ada guru yang tak pernah mau menaruh hati untuk sekedar mengenali satu persatu siswanya, apalagi mengenali persoalan hidup dan konteks hidup muridnya. Padahal dengan menghafal nama siswa menjadi awal mengenallebih jauh seluruh konteks kehidupan siswa. Sapaan akan terasa lebih menyentuh kesan siswa jika disebutkan namanya. 

Seorang mantan murid SD, yang sekarang sudah duduk dibangku SMA, pada tanggal 3 Januari 2013, menulis status di FBmantan guru SD nya, demikian : “Bu,,,bukan baik atau tidaknya seorang guru yang membuat murid menjadi baik dan inget sama gurunya...Tapi kenyamanan murid bersama gurunya...Itu yang saya dapet dari ibu....”. Sang guru tidak menyangka setelah sekian tahun mengajar murid ini di SD, muridnya masih mengingatnya sebagai gurunya. Tentu saja, sang guru tidak hanya mengetahui namanya tapi juga tahu kehidupan dan keluarga dari curhatnya. Sebagai seorang guru tidak benar menganggap murid mencari perhatian tapi memang seharusnya seorang guru memperhatikan dan memperlakukan murid secara manusiawi.

Sumber : ST. Kartono Menjadi Guru Untuk Muridku, Kanius Yogyakarta

Penulis : Rly